Sore yang indah, ditemani oleh bunyi ombak dan semilir angin yang
kian beriringan dengan suara daun kelapa yang tak mau berhenti untuk
melambai. Suasana tenang disini setidaknya dapat mengurangi rasa
penatku. Kudengar decitan kursi roda yang makin lama kian mendakatiku.
Kulihat sosok yang memang akhir-akhir ini sering bersamaku di tempat
ini. Aku sangat bingung jika melihat ekspresi wajahnya terkadang dia
terlihat sangat tenang dan terkadang dia terlihat datar.
“Apa hari ini kau baik-baik saja?” tanyaku padanya karena memang dia
adalah sosok yang sangat sulit ditebak, bukannya jawaban yang kudapat
tapi hanya senyum kecil yang mengembang di bibirnya. Aku semakin bingung
dengan semua tingkahnya, sangat aneh bagiku karena memang dia sosok
yang pendiam tak banyak kata yang dia lontarkan untukku.
“Disini sangat tenang, aku menyukainya” ucapku menceracau sendiri,
inilah kebiasaanku setiap bertemu dengannya meskipun tak ada satupun
respon darinya tapi aku tahu bahwa dia mendengarkanku dan mengerti apa
yang ku mau.
“Hari ini sama seperti hari-hariku sebelumnya, tak ada yang istimewa
ataupun terkesan semuanya sama dan kau tau bukan hariku selalu berakhir
disini bersama senja, berakhir dengan gambar-gambar yang hanya bisa
menemani sesaat” ucapku padanya, dia menoleh dan tersenyum padaku.
“Mengapa kau selalu berkata bahwa hari ini selalu sama seperti hari kemarin?” ujarnya lembut tapi terkesan sangat dingin.
“ya, karena menurutku semuanya sama, tak ada apapun yang berkesan” jawabku tanpa menatapnya.
“Itu semua karena ulahmu sendiri yang tak pernah mau tau kan indahnya kehidupan” Ujarnya seraya menatapku. Entah angin dari mana yang telah membawanya untuk bercakap denganku, biasanya hanya aku yang berbicara sendiri.
“Itu semua karena ulahmu sendiri yang tak pernah mau tau kan indahnya kehidupan” Ujarnya seraya menatapku. Entah angin dari mana yang telah membawanya untuk bercakap denganku, biasanya hanya aku yang berbicara sendiri.
“Aku?” tanyaku seraya membenarkan posisi dudukku untuk menghadapnya.
Jujur aku paling tak suka disalahkan atas kekejaman dunia karena
menurutku tak ada yang salah pada diriku hanya saja dunia ini yang
terlalu kejam untuk kupijaki.
“ya, dirimu sendiri” ucapnya menatapku, aku mendongakkan kepalaku dan mengernyitkan dahi atas pernyataannya.
“Apa yang salah denganku? Aku hanya ingin hidup bahagia di dunia yang
kejam ini tapi nyatanya semua sama saja kan? Tak ada yang indah” ucapku
sedikit emosi karena bisa-bisanya dia menyalahkanku.
“Gracia, sekarang coba kamu fikir apa yang telah kamu perbuat atas
kehidupan kamu? Apa kamu merasa bahagia dengan itu semua?” tanyanya lagi
dan semakin manatapku intens. Sepertinya dia benar-benar lelah
mendengarkan ucapan yang sama selalu terlontar dari bibirku.
“ya, karena menurutku itu yang terbaik Rey” suaraku sedikit meninggi
kali ini karena memang telingaku semakin panas karena perkataannya.
“Berarti, kau belum mengenali dirimu sendiri” ujarnya santai seraya melempar pandang pada laut lepas yang meyajikan pertunjukan yang sangat sayang untuk dilewatkan.
“Berarti, kau belum mengenali dirimu sendiri” ujarnya santai seraya melempar pandang pada laut lepas yang meyajikan pertunjukan yang sangat sayang untuk dilewatkan.
“Mengenali diri sendiri? Bukankah kita hidup untuk mnegenali orang lain?” tanyaku semakin menjadi.
“Seharusnya..” dia menghela nafas sebelum melanjutkan perkataannya,
“Seharusnya apa?” ucapku penasaran dengan apa yang akan dikatakannya
“Seharusnya, sebelum kau ingin tahu siapa orang lain, kau harus bisa mengenali siapa dirimu? Sehingga kau dengan mudah menyesuaikan dengan siapa kau harus tahu? Apa yang bisa membuatmu bahagia? Keinginan apa yang benar-benar ingin kamu miliki?” ucapnya dengan tatapan datar dan tetap lurus menghadap ombak. “Apa kau memiliki cita-cita?” tanyanya kemudian.
“Seharusnya apa?” ucapku penasaran dengan apa yang akan dikatakannya
“Seharusnya, sebelum kau ingin tahu siapa orang lain, kau harus bisa mengenali siapa dirimu? Sehingga kau dengan mudah menyesuaikan dengan siapa kau harus tahu? Apa yang bisa membuatmu bahagia? Keinginan apa yang benar-benar ingin kamu miliki?” ucapnya dengan tatapan datar dan tetap lurus menghadap ombak. “Apa kau memiliki cita-cita?” tanyanya kemudian.
“Ada, bukankah kita hidup untuk mencapai cita-cita? Dan itu yang bisa buat kita bangga bukan?” tanyaku penuh selidik.
“Apa yang kau ketahui tentang cita-cita?” tanyanya lagi. Entah,
sekarang aku tak merasa emosi ketika dia berbicara jika difikir benar
juga, dunia akan kejam jika kita tak pandai menyesuaikannya.
“Cita-cita? Itu sebuah harapan yang menujukan dirinya untuk menjadi
seseorang yang dia ingini” jawabku menatapnya. “Seperti?” tanyanya lagi
“Seperti menjadi guru, dokter, author, fotographer, ya pokoknya yang berhubungan dengan profesi” ujarku santai.
“Seperti menjadi guru, dokter, author, fotographer, ya pokoknya yang berhubungan dengan profesi” ujarku santai.
“Kurang tepat” ucapnya seraya melempar pandangan dan senyum kepadaku.
“Salah lagi? Kenapa ucapanku tak ada satupun yang benar di telingamu” ucapku sebal.
“aku kan tidak mengatakan bahwa kau salah, tapi aku berkata kau
kurang tepat Gracia” ujarnya seraya mencubit pipiku dengan gemas.
“Sama saja Rey” ujarku. “Ikut aku” ucapnya mengajakku untuk ke suatu tempat.
“Nanti saja aku masih ingin mengabadikan senja disini” ucapku dengan nada memohon.
“Tidak, sudah cukup kau mengabadikannya sejak minggu kemarin, apa kau
tak kasian melihat kameramu yang jengah karena kau selalu menyuruhnya
untuk mnegabadikan senja” ujarnya seraya menarik pergelangan tanganku
untuk mendorong kursi rodanya.
“ok” ucapku pasrah. Entah akan dibawanya kemana diriku ini, aku hanya
mengikuti instruksinya saat berjalan, memang selama perjalanan tak ada
obralan penting hanya saja cuap-cuap yang menunjukkan jalan untuk ke
tempat yang akan dia tunjukkan padaku.
“Sampai” ujarnya. Rumah yang tak terlalu mewah tapi berukuran cukup
besar yang telah ada di hadapanku sekarang. Jujur, aku sangat bingung
banyak sekali orang yang menghuni tempat ini. Tapi disini ada yang
berbeda, Ya.. hampir semua orang yang tinggal disini adalah
mereka-mereka yang tidak seberuntung diriku.
“Mereka siapa mengapa banyak sekali yang menghuni tempat ini?”
Tanyaku seraya menjajari posisinya yang tengah ada di kursi roda
miliknya.
“ayo, akan kutunjukkan kau betapa banyak cita-cita yang ada disini
bukan hanya sekedar profesi belaka” ucapnya seraya menjalankan kursi
rodanya. Aku segera bangkit dan menyusulnya, tak jarang dia disapa oleh
penghuni disini. Sungguh, aku tak kuasa berada di tempat ini. Hidup
dengan banyak kekurangan tapi mereka masih bisa bertahan hanya itu yang
sedari tadi mengelilingi otakku.
Di sepanjang perjalananku mengelilingi rumah ini, Rey banyak
bercerita tentang Rista yang tunanetra tapi dia berusaha untuk
mengahafal semua yang pernah dia lewati. Arga yang lumpuh tapi,
sepertinya dia tak ingin hanya berdiam diri sehingga dia belajar untuk
berjalan agar dia kembali normal dan banyak hal-hal yang meurutku sepele
tapi menjadi cita-cita banyak orang disini.
“Aku tinggal dulu ya? Kau boleh melihat-lihat sekitar sini,
bertemanlah bersama mereka, kau akan tahu nanti siapa dirimu” ujarnya
sebelum benar-benar pergi.
Setelah lama merasa bosan duduk termenung sendiri tanpa teman, aku
memutuskan untuk melihat-lihat aktivitas mereka, mulai dari bermain,
bercanda bahkan menyalurkan hobi. Meskipun mereka banyak kekurangan tapi
mereka tak pernah lelah untuk berusaha. Hingga akhirnya pandanganku
menangkap sosok gadis kecil dengan kanvas dan kuas di hadapannya.
Perlahan aku mendekatinya dan ingin tahu lebih jauh siapa sosok gadis
kecil misterius ini.
“Hai, boleh kaka duduk disini” tanyaku sembari menunjuk bangku kosong
di sebelahnya. dia hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Lagi apa?” tanyaku lagi untuk mencoba akrab dengannya.
“Lagi apa?” tanyaku lagi untuk mencoba akrab dengannya.
“Lagi ngelukis kak” ucanya lembut. “Nama kamu siapa?” tanyaku lagi,
karena memang entah kenapa aku ingin mengenalinya lebih jauh. “Rere”
jawabnya singkat tapi cukup untukku. “Rere lagi ngelukis apa?” tanyaku
lebih banyak.
“Cita-cita Rere” dahiku semakin mngernyit saat menatap kanvas yang
ada di hadapannya. Karena disana hanya ada torehan sebuah gambar taman
dengan anak-anak kecil yang bermain tapi, mengapa itu bisa menjadi
cita-citanya? Aneh, cuma itu sekarang yang aku tahu tentang dia.
“Cita-cita? Boleh kakak tahu kenapa Rere punya cita-cita itu? Itu
sangat sederhana sayang, kita tinggal pergi ke taman dan bermain-main
dengan mereka” ucapku menjelaskan. Dia menatapku sambil tersenyum.
“Bagi orang normal seperti kaka itu memang biasa, tapi bagiku itu hal
yag sangat membahagiakan, berlari sepuas mereka, bermain semau mereka,
sebenarnya bahagia itu sederhana yang penting kita bisa melakukan hal
yang kita suka dengan sendirinya kita akan merasa bahagia atas itu
semua” diam, hanya itu yang dapat kulakukan sekarang bagaimana bisa
gadis sekecil dia bisa mengerti kehidupan sedangkan aku hanya bisa
menyalahkan dunia.
“kamu bisa kok seperti mereka, toh kamu baik-baik saja kan?” tanyaku selanjutnya
“Aku menderita leukimia kak, terkadang jika aku merasa sedikit lelah
kaki dan tanganku tiba-tiba akan lumpuh meskipun hanya sementara tapi,
itu bisa jadi untuk selmanya aku tak akan bisa melakukan hal-hal yang
bisa kulakukan sekarang” ujarnya lagi.
Seketika aku diam dan tak berani mengatakan apapun. Gadis kecil
seperti dia harus menanggung beban hidup yang cukup berat? tapi, mengapa
dia mampu bertahan? Sedangkan aku? Normal, tapi tak mampu menahan semua
beban hidup. Cita-citanya sangat sederhana akan tetapi karena
cita-citanya itulah yang membuat mereka mampu bertahan hingga saat ini.
Dan baru kali ini aku sadar bahwa cita-cita bukan hanyalah sekedar
profesi belaka yang ingin dijalani kelak, tapi bisa jadi cita-cita
adalah sebuah harapan tentang kehidupan atau kegiatan yang ingin kita
lakukan untuk kemudian hari. Tak seharusnya aku menyamakan hari ini
dengan hari kemarin karena yang seharusnya aku lakukan adalah menjadikan
hari kemarin sebagai pembelajaran, menjalani hari ini, dan berfikir
untuk menjalani hari esok agar semua cita-cita dapat dicapai sesuai
dengan keinginan.
Cerpen Mengenai Manusia dan Tanggungjawab
Sebenarnya Ade tahu dan mengerti, setiap hari Kak Nina selalu
membantu Ibu menyiapkan makanan untuk dijual. Mengantarkan ke
warung-warung dengan mengendarai sepeda sebelum pergi ke sekolah. Ade
juga tahu, Kak Nina sering terlambat tiba di sekolah karenanya. Tetapi
anehnya Kak Nina tidak pernah tertinggal pelajarannya. Kak Nina di rumah
selalu mengulang pelajaran yang diberikan di sekolah. Dan rasa-rasanya,
Kak Nina adalah orang yang paling baik di rumah ini. Dan Ade tidak
pernah merasa iri bila Kak Nina dibelikan sesuatu sedang dia sendiri
tidak.
Tetapi sekarang ini, pagi hari ini, Ade bersungut-sungut. Kak Nina
sakit, berarti tidak berangkat ke sekolah dan tidak ada yang mengantar
dagangan ke warung-warung. Ibu sudah lama tidak bisa pergi ke mana-mana
karena mudah sakit kepala. Satu-satunya
yang bisa diharapkan adalah Ade.
“Apa Ade tidak ingin membantu ibu? Sekali ini saja, selagi Kakakmu sakit, De…,” Ibu berkata dengan penuh harap.
“Ade hari ini ada ulangan, Bu. Harus berangkat lebih awal… Semalam
tidak sempat banyak belajar…,” jawab Ade sambil menyiapkan buku-bukunya.
Wajahnya tampak cemberut. Ibu menarik nafas panjang mendengar alasan
yang diberikan Ade. Kalau sudah demikian, mau apa lagi?
“Biarlah saya sendiri saja, Bu. Rasanya kepala saya sudah tidak
pening lagi,” seru Kak Nina dari dalam kamar. Mendengar suara Kak Nina,
Ibu lalu meninggalkan Ade yang masih berwajah cemberut.
“Betul kau sudah sehat, Nina? Ibu khawatir nanti malam tambah
sakitmu,” kata Ibu. Kak Nina bangkit perlahan dari tempat tidurnya lalu
pergi ke kamar mandi. Ibu hanya mengawasi dari belakang sambil
menggendong adiknya yang masih bayi.
“Kenapa tidak kau bilang dari tadi kalau badanmu tidak sehat, Nin?
Kalau saja kau bilang selagi Bapak belum berangkat, pasti Bapakmu yang
mengantarkan kue-kue dagangan kita ini…,” bisik Ibu.
“Baru terasa setelah saya mandi tadi Bu… Mulanya tak terasa apa-apa.
Mungkin juga sebentar saja sembuh, Bu,” jawab Nina sambil terus
berpakaian.
Ade berangkat tergesa-gesa. Ada ulangan, begitu alasan yang
disampaikannya untuk menolak tugas yang biasa dilakukan Kak Nina.
Padahal ia tidak langsung menuju ke sekolah, karena di sekolah pada
waktu sepagi itu masih sepi. Bahkan mungkin gerbangnya belum dibuka. Dan
sebenarnya pula tidak ada ulangan. Ade sengaja menolak tugas itu karena
malu. Ia tidak mau teman-temannya melihatnya naik sepeda sambil membawa
keranjang kue-kue. Ia tidak mau dikata-katai teman-teman seperti yang
dialami Alip yang mengantarkan koran tiap pagi itu.
Hari masih pagi benar. Ade tidak tahu akan kemana tujuannya pada pagi
itu. Apakah akan mampir ke rumah Tina? Atau Ninuk? Ah lebih baik ke
rumah Yova saja. Biasanya anak itu sudah siap pada pagi sekali. Aku bisa
meluangkan waktu menunggu siang di rumahnya, pikir Ade.
Tiba di rumah Yova, Ade ternyata harus menunggu lama sekali. Yova
masih berjalan-jalan bersama adiknya yang masih kecil. Mama Yova sedang
menata meja makan untuk sarapan Papanya. Kakak Yova sedang mengepel
lantai. Papa Yova sedang mencuci mobil. Bik Icih sedang membantu
mempersiapkan makanan di dapur. Dan Ade merasa jengah menunggu di teras.
“Tunggu sebentar, De. Yova Cuma mengajak jalan-jalan Vina menghirup
embun pagi. Tak lama lagi dia pasti kembali. Dia juga sudah siap akan
berangkat…,” kata Papa Yova mencoba menentramkan kegundahan Ade yang
sedang menunggu itu.
Tetapi yang dikatakan oleh Papa Yova itu ternyata lama sekali bagi
Ade. Jam dinding di rumah Yova menunjukkan pukul enam lebih sepuluh
menit. Jarumnya bergerak perlahan. Ade semakin merasa tidak enak duduk
di kursi teras. Tak lama kemudian Bik Icih mengantar secangkir teh manis
dengan ubi goreng.
“Silakan diminum, Neng Ade,” Bik Icih menawarkan.
“Saya mau berangkat dulu, Bik,” jawabnya kepada Bik Icih. Lalu kepada
Papa Yova dia pamitan sambil bergegas pergi, “Terima kasih… Om, saya
mau berangkat saja dulu. Mau mampir ke rumah Ninuk, Om…” la tiba-tiba
gugup. Papa Yova keheranan, demikian pula Bik Icih. Mereka heran melihat
Ade tiba-tiba pergi dan melangkah lebar-lebar meninggalkan rumah itu.
Semua orang sibuk, semuanya bekerja. Semuanya, tanpa kecuali. Kak
Nina juga. Padahal Kak Nina sedang sakit. Karena tanggung jawabnya
sebagai anak tertua dan juga karena rasa sayangnya kepada keluarga, Kak
Nina berpayah-payah pergi mengantar kue. Padahal Kak Nina sakit.
Bagaimana kalau sakitnya bertambah parah? Bagaimana kalau Kak Nina jatuh
dari sepeda karena kepalanya pening? Bagaimana kalau sampai… ah. Ade
seperti ingin menangis selama perjalanan menujuh ke sekolah. Hatinya
begitu gundah. Ia tak jadi ke rumah Ninuk. Sekolah masih sepi, baru
beberapa anak saja yang datang.
Selama pelajaran berlangsung Ade tidak bisa memusatkan perhatiannya
pada pelajaran. Beberapa kali ditegur Pak Adi karena melamun. Ia ingin
segera pulang. Ingin segera menjenguk Kak Nina. Mungkin Kak Nina tambah
parah sakitnya, mungkin Kak Nina jatuh dari sepeda karena kepalanya
pening lalu ada kendaraan yang menabraknya Hap.. .
“Kau sakit, Ade?” tiba-tiba terdengar teguran Pak Adi. Ade gelagapan.
Rupanya tadi la melamun selama Pak Adi menerangkan. Pak Adi lalu
menghampirinya. Meraba keningnya. Ade jadi terharu.
“Kepalamu hangat. Pulang saja, ya. Nanti bertambah parah…” kata Pak
Adi. Ade menurut. Ia bergegas meninggalkan sekolah. Ade berjalan dengan
setengah berlari. Agar secepat mungkin bisa tiba dirumah melihat Kak
Nina.
Dengan tergopoh-gopoh ia memasuki rumah. Ibu sampai keheranan melihat
sikapnya. Langsung menuju ke kamar Kak Nina. Dan Kak Nina terbaring di
pembaringannya.
Ade seperti ingin menubruk kakaknya yang sedang terbaring itu. Kak Nina jadi terheran-heran dibuatnya.
“Ada apa, De? Kenapa kau tiba-tiba begini?” tanya Kak Nina.
“Maafkan aku, kak. Sebenarnya aku tidak ada ulangan… Aku cuma malu
mengantarkan kue-kue itu ” Ade langsung saja menangis. Suaranya jadi
tidak jelas terdengar.
“Sudahlah, jangan menangis. Yang penting kau sudah menyadari
kesalahanmu dan tak akan mengulanginya lagi. Untuk kali ini tak apa-apa.
Kakak memaafkanmu, De,” Lembut suara Kak Nina. Menyejukkan hati Ade.
Mengobati rasa sesalnya agar tidak berkepanjangan.
Dan keesokan harinya, Kak Nina masih sakit. Ade benar-benar
melaksanakan apa yang dijanjikanya kepada kakaknya. Tanpa ragu lagi Ade
menjinjing keranjang kue-kue. Dengan sepeda jengki ia berkeliling
mengantar kue-kue itu ke warung-warung. Tak ada yang mengejek, tak ada
yang menggoda, tak ada rasa malu. Yang ada adalah rasa tanggung jawab
yang besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar