Minggu, 18 Januari 2015

TUGAS TULISAN IBD KE-4

Cerpen Mengenai Manusia dan Pandangan Hidup 

Sore yang indah, ditemani oleh bunyi ombak dan semilir angin yang kian beriringan dengan suara daun kelapa yang tak mau berhenti untuk melambai. Suasana tenang disini setidaknya dapat mengurangi rasa penatku. Kudengar decitan kursi roda yang makin lama kian mendakatiku. Kulihat sosok yang memang akhir-akhir ini sering bersamaku di tempat ini. Aku sangat bingung jika melihat ekspresi wajahnya terkadang dia terlihat sangat tenang dan terkadang dia terlihat datar.
“Apa hari ini kau baik-baik saja?” tanyaku padanya karena memang dia adalah sosok yang sangat sulit ditebak, bukannya jawaban yang kudapat tapi hanya senyum kecil yang mengembang di bibirnya. Aku semakin bingung dengan semua tingkahnya, sangat aneh bagiku karena memang dia sosok yang pendiam tak banyak kata yang dia lontarkan untukku.
“Disini sangat tenang, aku menyukainya” ucapku menceracau sendiri, inilah kebiasaanku setiap bertemu dengannya meskipun tak ada satupun respon darinya tapi aku tahu bahwa dia mendengarkanku dan mengerti apa yang ku mau.
“Hari ini sama seperti hari-hariku sebelumnya, tak ada yang istimewa ataupun terkesan semuanya sama dan kau tau bukan hariku selalu berakhir disini bersama senja, berakhir dengan gambar-gambar yang hanya bisa menemani sesaat” ucapku padanya, dia menoleh dan tersenyum padaku.
“Mengapa kau selalu berkata bahwa hari ini selalu sama seperti hari kemarin?” ujarnya lembut tapi terkesan sangat dingin.
“ya, karena menurutku semuanya sama, tak ada apapun yang berkesan” jawabku tanpa menatapnya.
“Itu semua karena ulahmu sendiri yang tak pernah mau tau kan indahnya kehidupan” Ujarnya seraya menatapku. Entah angin dari mana yang telah membawanya untuk bercakap denganku, biasanya hanya aku yang berbicara sendiri.
“Aku?” tanyaku seraya membenarkan posisi dudukku untuk menghadapnya. Jujur aku paling tak suka disalahkan atas kekejaman dunia karena menurutku tak ada yang salah pada diriku hanya saja dunia ini yang terlalu kejam untuk kupijaki.
“ya, dirimu sendiri” ucapnya menatapku, aku mendongakkan kepalaku dan mengernyitkan dahi atas pernyataannya.
“Apa yang salah denganku? Aku hanya ingin hidup bahagia di dunia yang kejam ini tapi nyatanya semua sama saja kan? Tak ada yang indah” ucapku sedikit emosi karena bisa-bisanya dia menyalahkanku.
“Gracia, sekarang coba kamu fikir apa yang telah kamu perbuat atas kehidupan kamu? Apa kamu merasa bahagia dengan itu semua?” tanyanya lagi dan semakin manatapku intens. Sepertinya dia benar-benar lelah mendengarkan ucapan yang sama selalu terlontar dari bibirku.
“ya, karena menurutku itu yang terbaik Rey” suaraku sedikit meninggi kali ini karena memang telingaku semakin panas karena perkataannya.
“Berarti, kau belum mengenali dirimu sendiri” ujarnya santai seraya melempar pandang pada laut lepas yang meyajikan pertunjukan yang sangat sayang untuk dilewatkan.
“Mengenali diri sendiri? Bukankah kita hidup untuk mnegenali orang lain?” tanyaku semakin menjadi.
“Seharusnya..” dia menghela nafas sebelum melanjutkan perkataannya,
“Seharusnya apa?” ucapku penasaran dengan apa yang akan dikatakannya
“Seharusnya, sebelum kau ingin tahu siapa orang lain, kau harus bisa mengenali siapa dirimu? Sehingga kau dengan mudah menyesuaikan dengan siapa kau harus tahu? Apa yang bisa membuatmu bahagia? Keinginan apa yang benar-benar ingin kamu miliki?” ucapnya dengan tatapan datar dan tetap lurus menghadap ombak. “Apa kau memiliki cita-cita?” tanyanya kemudian.
“Ada, bukankah kita hidup untuk mencapai cita-cita? Dan itu yang bisa buat kita bangga bukan?” tanyaku penuh selidik.
“Apa yang kau ketahui tentang cita-cita?” tanyanya lagi. Entah, sekarang aku tak merasa emosi ketika dia berbicara jika difikir benar juga, dunia akan kejam jika kita tak pandai menyesuaikannya.
“Cita-cita? Itu sebuah harapan yang menujukan dirinya untuk menjadi seseorang yang dia ingini” jawabku menatapnya. “Seperti?” tanyanya lagi
“Seperti menjadi guru, dokter, author, fotographer, ya pokoknya yang berhubungan dengan profesi” ujarku santai.
“Kurang tepat” ucapnya seraya melempar pandangan dan senyum kepadaku.
“Salah lagi? Kenapa ucapanku tak ada satupun yang benar di telingamu” ucapku sebal.
“aku kan tidak mengatakan bahwa kau salah, tapi aku berkata kau kurang tepat Gracia” ujarnya seraya mencubit pipiku dengan gemas.
“Sama saja Rey” ujarku. “Ikut aku” ucapnya mengajakku untuk ke suatu tempat.
“Nanti saja aku masih ingin mengabadikan senja disini” ucapku dengan nada memohon.
“Tidak, sudah cukup kau mengabadikannya sejak minggu kemarin, apa kau tak kasian melihat kameramu yang jengah karena kau selalu menyuruhnya untuk mnegabadikan senja” ujarnya seraya menarik pergelangan tanganku untuk mendorong kursi rodanya.
“ok” ucapku pasrah. Entah akan dibawanya kemana diriku ini, aku hanya mengikuti instruksinya saat berjalan, memang selama perjalanan tak ada obralan penting hanya saja cuap-cuap yang menunjukkan jalan untuk ke tempat yang akan dia tunjukkan padaku.
“Sampai” ujarnya. Rumah yang tak terlalu mewah tapi berukuran cukup besar yang telah ada di hadapanku sekarang. Jujur, aku sangat bingung banyak sekali orang yang menghuni tempat ini. Tapi disini ada yang berbeda, Ya.. hampir semua orang yang tinggal disini adalah mereka-mereka yang tidak seberuntung diriku.
“Mereka siapa mengapa banyak sekali yang menghuni tempat ini?” Tanyaku seraya menjajari posisinya yang tengah ada di kursi roda miliknya.
“ayo, akan kutunjukkan kau betapa banyak cita-cita yang ada disini bukan hanya sekedar profesi belaka” ucapnya seraya menjalankan kursi rodanya. Aku segera bangkit dan menyusulnya, tak jarang dia disapa oleh penghuni disini. Sungguh, aku tak kuasa berada di tempat ini. Hidup dengan banyak kekurangan tapi mereka masih bisa bertahan hanya itu yang sedari tadi mengelilingi otakku.
Di sepanjang perjalananku mengelilingi rumah ini, Rey banyak bercerita tentang Rista yang tunanetra tapi dia berusaha untuk mengahafal semua yang pernah dia lewati. Arga yang lumpuh tapi, sepertinya dia tak ingin hanya berdiam diri sehingga dia belajar untuk berjalan agar dia kembali normal dan banyak hal-hal yang meurutku sepele tapi menjadi cita-cita banyak orang disini.
“Aku tinggal dulu ya? Kau boleh melihat-lihat sekitar sini, bertemanlah bersama mereka, kau akan tahu nanti siapa dirimu” ujarnya sebelum benar-benar pergi.
Setelah lama merasa bosan duduk termenung sendiri tanpa teman, aku memutuskan untuk melihat-lihat aktivitas mereka, mulai dari bermain, bercanda bahkan menyalurkan hobi. Meskipun mereka banyak kekurangan tapi mereka tak pernah lelah untuk berusaha. Hingga akhirnya pandanganku menangkap sosok gadis kecil dengan kanvas dan kuas di hadapannya. Perlahan aku mendekatinya dan ingin tahu lebih jauh siapa sosok gadis kecil misterius ini.
“Hai, boleh kaka duduk disini” tanyaku sembari menunjuk bangku kosong di sebelahnya. dia hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Lagi apa?” tanyaku lagi untuk mencoba akrab dengannya.
“Lagi ngelukis kak” ucanya lembut. “Nama kamu siapa?” tanyaku lagi, karena memang entah kenapa aku ingin mengenalinya lebih jauh. “Rere” jawabnya singkat tapi cukup untukku. “Rere lagi ngelukis apa?” tanyaku lebih banyak.
“Cita-cita Rere” dahiku semakin mngernyit saat menatap kanvas yang ada di hadapannya. Karena disana hanya ada torehan sebuah gambar taman dengan anak-anak kecil yang bermain tapi, mengapa itu bisa menjadi cita-citanya? Aneh, cuma itu sekarang yang aku tahu tentang dia.
“Cita-cita? Boleh kakak tahu kenapa Rere punya cita-cita itu? Itu sangat sederhana sayang, kita tinggal pergi ke taman dan bermain-main dengan mereka” ucapku menjelaskan. Dia menatapku sambil tersenyum.
“Bagi orang normal seperti kaka itu memang biasa, tapi bagiku itu hal yag sangat membahagiakan, berlari sepuas mereka, bermain semau mereka, sebenarnya bahagia itu sederhana yang penting kita bisa melakukan hal yang kita suka dengan sendirinya kita akan merasa bahagia atas itu semua” diam, hanya itu yang dapat kulakukan sekarang bagaimana bisa gadis sekecil dia bisa mengerti kehidupan sedangkan aku hanya bisa menyalahkan dunia.
“kamu bisa kok seperti mereka, toh kamu baik-baik saja kan?” tanyaku selanjutnya
“Aku menderita leukimia kak, terkadang jika aku merasa sedikit lelah kaki dan tanganku tiba-tiba akan lumpuh meskipun hanya sementara tapi, itu bisa jadi untuk selmanya aku tak akan bisa melakukan hal-hal yang bisa kulakukan sekarang” ujarnya lagi.
Seketika aku diam dan tak berani mengatakan apapun. Gadis kecil seperti dia harus menanggung beban hidup yang cukup berat? tapi, mengapa dia mampu bertahan? Sedangkan aku? Normal, tapi tak mampu menahan semua beban hidup. Cita-citanya sangat sederhana akan tetapi karena cita-citanya itulah yang membuat mereka mampu bertahan hingga saat ini. Dan baru kali ini aku sadar bahwa cita-cita bukan hanyalah sekedar profesi belaka yang ingin dijalani kelak, tapi bisa jadi cita-cita adalah sebuah harapan tentang kehidupan atau kegiatan yang ingin kita lakukan untuk kemudian hari. Tak seharusnya aku menyamakan hari ini dengan hari kemarin karena yang seharusnya aku lakukan adalah menjadikan hari kemarin sebagai pembelajaran, menjalani hari ini, dan berfikir untuk menjalani hari esok agar semua cita-cita dapat dicapai sesuai dengan keinginan.

Cerpen Mengenai Manusia dan Tanggungjawab


Sebenarnya Ade tahu dan mengerti, setiap hari Kak Nina selalu membantu Ibu menyiapkan makanan untuk dijual. Mengantarkan ke warung-warung dengan  mengendarai sepeda sebelum pergi ke sekolah. Ade juga tahu, Kak Nina sering terlambat tiba di sekolah karenanya. Tetapi anehnya Kak Nina tidak pernah tertinggal pelajarannya. Kak Nina di rumah selalu mengulang pelajaran yang diberikan di sekolah. Dan rasa-rasanya, Kak Nina adalah orang yang paling baik di rumah ini. Dan Ade tidak pernah merasa iri bila Kak Nina dibelikan sesuatu sedang dia sendiri tidak.
Tetapi sekarang ini, pagi hari ini, Ade bersungut-sungut. Kak Nina sakit, berarti tidak berangkat ke sekolah dan tidak ada yang mengantar dagangan ke warung-warung. Ibu sudah lama tidak bisa pergi ke mana-mana karena mudah sakit kepala. Satu-satunya
yang bisa diharapkan adalah Ade.
“Apa Ade tidak ingin membantu ibu? Sekali ini saja, selagi Kakakmu sakit, De…,” Ibu berkata dengan penuh harap.
“Ade hari ini ada ulangan, Bu. Harus berangkat lebih awal… Semalam tidak sempat banyak belajar…,” jawab Ade sambil menyiapkan buku-bukunya. Wajahnya tampak cemberut. Ibu menarik nafas panjang mendengar alasan yang diberikan Ade. Kalau sudah demikian, mau apa lagi?
“Biarlah saya sendiri saja, Bu. Rasanya kepala saya sudah tidak pening lagi,” seru Kak Nina dari dalam kamar. Mendengar suara Kak Nina, Ibu lalu meninggalkan Ade yang masih berwajah cemberut.
“Betul kau sudah sehat, Nina? Ibu khawatir nanti malam tambah sakitmu,” kata Ibu. Kak Nina bangkit perlahan dari tempat tidurnya lalu pergi ke kamar mandi. Ibu hanya mengawasi dari belakang sambil menggendong adiknya yang masih bayi.
“Kenapa tidak kau bilang dari tadi kalau badanmu tidak sehat, Nin? Kalau saja kau bilang selagi Bapak belum berangkat, pasti Bapakmu yang mengantarkan kue-kue dagangan kita ini…,” bisik Ibu.
“Baru terasa setelah saya mandi tadi Bu… Mulanya tak terasa apa-apa. Mungkin juga sebentar saja sembuh, Bu,” jawab Nina sambil terus berpakaian.
Ade berangkat tergesa-gesa. Ada ulangan, begitu alasan yang disampaikannya untuk menolak tugas yang  biasa dilakukan Kak Nina. Padahal ia tidak langsung menuju ke sekolah, karena di sekolah pada waktu sepagi itu masih sepi. Bahkan mungkin gerbangnya belum dibuka. Dan sebenarnya pula tidak ada ulangan. Ade sengaja menolak tugas itu karena malu. Ia tidak mau teman-temannya melihatnya naik sepeda sambil membawa keranjang kue-kue. Ia tidak mau dikata-katai teman-teman seperti yang dialami Alip yang mengantarkan koran tiap pagi itu.
Hari masih pagi benar. Ade tidak tahu akan kemana tujuannya pada pagi itu. Apakah akan mampir ke rumah Tina? Atau Ninuk? Ah lebih baik ke rumah Yova saja. Biasanya anak itu sudah siap pada pagi sekali. Aku bisa meluangkan waktu menunggu siang di rumahnya, pikir Ade.
Tiba di rumah Yova, Ade ternyata harus menunggu lama sekali. Yova masih berjalan-jalan bersama adiknya yang masih kecil. Mama Yova sedang menata meja makan untuk sarapan Papanya. Kakak Yova sedang mengepel lantai. Papa Yova sedang mencuci mobil. Bik Icih sedang membantu mempersiapkan makanan di dapur. Dan Ade merasa jengah menunggu di teras.
“Tunggu sebentar, De. Yova Cuma mengajak jalan-jalan Vina menghirup embun pagi. Tak lama lagi dia pasti kembali. Dia juga sudah siap akan berangkat…,” kata Papa Yova mencoba menentramkan kegundahan Ade yang sedang menunggu itu.
Tetapi yang dikatakan oleh Papa Yova itu ternyata lama sekali bagi Ade. Jam dinding di rumah Yova menunjukkan pukul enam lebih sepuluh menit. Jarumnya bergerak perlahan. Ade semakin merasa tidak enak duduk di kursi teras. Tak lama kemudian Bik Icih mengantar secangkir teh manis dengan ubi goreng.
“Silakan diminum, Neng Ade,” Bik Icih menawarkan.
“Saya mau berangkat dulu, Bik,” jawabnya kepada Bik Icih. Lalu kepada Papa Yova dia pamitan sambil bergegas pergi, “Terima kasih… Om, saya mau berangkat saja dulu. Mau mampir ke rumah Ninuk, Om…” la tiba-tiba gugup. Papa Yova keheranan, demikian pula Bik Icih. Mereka heran melihat Ade tiba-tiba pergi dan melangkah lebar-lebar meninggalkan rumah itu.
Semua orang sibuk, semuanya bekerja. Semuanya, tanpa kecuali. Kak Nina juga. Padahal Kak Nina sedang sakit. Karena tanggung jawabnya sebagai anak tertua dan juga karena rasa sayangnya kepada keluarga, Kak Nina berpayah-payah pergi mengantar kue. Padahal Kak Nina sakit. Bagaimana kalau sakitnya bertambah parah? Bagaimana kalau Kak Nina jatuh dari sepeda karena kepalanya pening? Bagaimana kalau sampai… ah. Ade
seperti ingin menangis selama perjalanan menujuh ke sekolah. Hatinya begitu gundah. Ia tak jadi ke rumah Ninuk. Sekolah masih sepi, baru beberapa anak saja yang datang.
Selama pelajaran berlangsung Ade tidak bisa memusatkan perhatiannya pada pelajaran. Beberapa kali ditegur Pak Adi karena melamun. Ia ingin segera pulang. Ingin segera menjenguk Kak Nina. Mungkin Kak Nina tambah parah sakitnya, mungkin Kak Nina jatuh dari sepeda karena kepalanya pening lalu ada kendaraan yang menabraknya Hap.. .
“Kau sakit, Ade?” tiba-tiba terdengar teguran Pak Adi. Ade gelagapan. Rupanya tadi la melamun selama Pak Adi menerangkan. Pak Adi lalu menghampirinya. Meraba keningnya. Ade jadi terharu.
“Kepalamu hangat. Pulang saja, ya. Nanti bertambah parah…” kata Pak Adi. Ade menurut. Ia bergegas meninggalkan sekolah. Ade berjalan dengan setengah berlari. Agar secepat mungkin bisa tiba dirumah melihat Kak Nina.
Dengan tergopoh-gopoh ia memasuki rumah. Ibu sampai keheranan melihat sikapnya. Langsung menuju ke kamar Kak Nina. Dan Kak Nina terbaring di pembaringannya.
Ade seperti ingin menubruk kakaknya yang sedang terbaring itu. Kak Nina jadi terheran-heran dibuatnya.
“Ada apa, De? Kenapa kau tiba-tiba begini?” tanya Kak Nina.
“Maafkan aku, kak. Sebenarnya aku tidak ada ulangan… Aku cuma malu mengantarkan kue-kue itu ” Ade langsung saja menangis. Suaranya jadi tidak jelas terdengar.
“Sudahlah, jangan menangis. Yang penting kau sudah menyadari kesalahanmu dan tak akan mengulanginya lagi. Untuk kali ini tak apa-apa. Kakak memaafkanmu, De,” Lembut suara Kak Nina. Menyejukkan hati Ade. Mengobati rasa sesalnya agar tidak berkepanjangan.
Dan keesokan harinya, Kak Nina masih sakit. Ade benar-benar melaksanakan apa yang dijanjikanya kepada kakaknya. Tanpa ragu lagi Ade menjinjing keranjang kue-kue. Dengan sepeda jengki ia berkeliling mengantar kue-kue itu ke warung-warung. Tak ada yang mengejek, tak ada yang menggoda, tak ada rasa malu. Yang ada adalah rasa tanggung jawab yang besar.
Makna Cita-Cita

Cita-cita merupakan keinginan, harapan, dan tujuan manusia atau bisa juga diartikan bahwa Cita-cita adalah suatu impian dan harapan seseorang akan masa depannya,cita-cita itu adalah tujuan hidup. Cita-cita yang baik adalah cita-cita yang dapat dicapai melalui kerja keras, kreativitas, inovasi, dukungan orang lain dan sebagainya. Keberanian kita mengambil resiko hari ini bisa jadi menjadi kesuksesan tak terduga di masa depan kita.

Setiap manusia memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri, tidak ada manusia yang persis sama. Dari sekian banyak manusia, ternyata masing-masing memiliki keunikan dan perbedaan antara satu dengan yang lainya. Dari keunikan keunikan dan perbedaan perbedaan tersebut manusia mempunyai cita cita yang berbeda beda juga. Setiap manusia yang hidup pasti mempunyai cita-cita yang didambakannya yang menjadi impian dan tujuan masing masing. Dalam mencapai cita-citanya dan tujuanya, manusia tidak akan mampu hidup secara individu/sendiri. Dalam segala aspek, manusia sebagai makhluk sosial pasti membutuhkan bantuan dan hubungan dengan manusia yang lain. Manusia hidup secara tolong menolong, saling membutuhkan.Cita-cita tersebut merupakan keinginan dan tujuan yang ingin dicapai oeh manusia sebagai sebuah harapan. Dalam mewujudkan cita-citanya manusia tersebut, pasti terhalang oleh suatu masalah-masalah yang dapat menggagu dan menghambat terwujudnya dan tercapainya cita-cita tersebut. Dari masalah masalah itu manusia akan mendapatkan banyak hikmah dan pengalaman yang bisa digunakan dalam kehidupan yang akan datang. Apabila manusia tersebut tidak belajar pada masalah yang datang, maka proses pencapaian cita-cita akan berlangsung lama bahkan tidak tercapai sama sekali. Setiap manusia dituntut berusaha sendiri untuk mencapai cita-cita yang diinginkannya.dari masalah masalah itu juga akan diuji kesabaran manusia atas apa yang di inginkanya. selain berusaha secara fisik,manusia juga harus berdoa kepada tuhan yang telah menciptakan kita . dalam berdoa kita hendaklah berdoa yang baik,dengan agama dan kepercayaan apa yang kita anut. Semua ini dilakukan agar tercapai antara keselarasan hidup di dunia maupun di akhirat. Cita cita tidak akan tercapai kalau kita tidak mau berusaha untuk mencapainya dengan usaha keras. Untuk menggapai cita-cita, harus diiringi tekad kuat dan tidak mudah untuk menyerah serta tidak mudah putus asa. Maka manusia dituntut menjadi pribadi yang selalu berusaha demi tercapainya cita-cita hidup. Manusia haruslah berusaha mencari peluang-peluang untuk mencapai cita-citanya dan tujuanya demi apa yang dia inginkan dimasa yang akan datang.Tapi jangan lupa dengan cita-cita setelah kita mati nanti yaitu masuk surga. Masuk surga pun harus kita perjuangkan selama kita hidup di dunia karena hidup kita pada dasarnya adalah untuk ibadah dan merupakan ujian Tuhan kepada kita. Kita mati tidak membawa apa-apa selain amal ibadah kita.
jadi menurut kesimpulan saya antara manusia, cita-cita dan tuhan sangatlah terkait dan tidak bisa di pisahkan. manusia sebagai sebagai mahluk sosial saling membutuhkan dengan yang lainya, dalam proses perjalanannya manusia pasti memiliki cita cita dan tujuan. Untuk melakukan perwujudan cita cita tersebut manusia berdoa dan meminta kepada tuhan tapi harus disertai dengan usaha dan kerja keras dalam mencapi tujuannya, selama dalam usaha mencapai cita cita pasti dihadapkan pada haangan dan hambatan,halangan dan hambatan tersebut menjadi ujian bagi manusia yang akan menjadikan manusia menjadi lebih kuat dalam menghadapai kehidupan di dunia ini.



Kebajikan

Kebajikan atau kebaikan atau perbuatan yang mendatangkan kebaikan pada hakekatnya sama dengan perbuatan moral, perbuatan yang sesuai dengan norma-norma agama dan etika. Makna kebajikan Manusia berbuat baik, karena menurut kodratnya manusia itu baik, mahluk bermoral. Atas dorongan suara hatinya manusia cenderung berbuat baik. Manusia adalah seorang pribadi yang utuh yang terdiri atas jiwa dan badan. Manusia merupakan mahluk sosial: manusia hidup bermasyarakat, manusia saling membutuhkan, saling menolong, saling menghargai sesama anggota masyarakat. Sebaliknya pula saling mencurigai, saling membenci, saling merugikan, dan sebagainya. Sebagai makhluk pribadi, manusia dapat menentukan sendiri apa yang baik dan apa yang buruk. Baik buruk itu ditentukan oleh suara hati. Suara hati adalah semacam bisikan di dalam hati yang mendesak seseorang, untuk menimbang dan menentukan baik buruknya suatu perbuatan, tindakan atau tingkah laku.


Sikap Hidup



Sikap hidup adalah suatu keadaan hati untuk menghadapi hidup ini. Apakah kita mempunyai sikap yang positif atau yang negatif. atau kita mempunyai sikap optimis atau pesimis?
       Sikap itu ada didalam diri kita masing-masing dan hanya kita sendiri yang tahu.orang lain akan baru tahu setelah kita bertindak. Sikap itu sangat penting, setiap manusia mempunyai sikap dan sudah tentu tiap-tiap orang berbeda sikapnya. Sikap dapat dibentuk sesuai kemauan dan keinginan yang membentuknya.
       Sikap juga  dapat berubah dikarenakan situasi, kondisi, dan juga lingkungan. Dalam menghadapi kehidupan, manusia selalu menghadapi manusia lain atau menghadapi sekelompok manusia. Ada beberapa sikap etis dan non etis. Sikap etis disebut juga sikap positif, dan sikap non etis disebut juga sikap negatif.

Pandangan Hidup

Pandangan hidup adalah nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat yang di pilih secara selektif oleh para individu dan golongan dalam masyarakat. Setiap manusia memiliki keinginan baik maupun buruk. Sikap hidup adalah perasaan hati dalam menghadapi hidup, sikap tersebut bisa positif, negatif, apatis atau sikap optimis maupun pesimis tergantung kepada pribadi dan lingkungannya.
Manusia adalah bagian dari pandangan hidup. Dalam kehidupan tidak ada seorang pun manusia yang tidak memiliki pandangan hidup. Apapun yang di katakan manusia adalah sebuah pandangan hidup karena dapat dipengaruhi oleh pola pikir tertentu pada setiap individu. Pandangan hidup bersifat elastis, tergantung kepada situasi dan kondisi dan dapat dipengaruhi oleh lingkungan hidup dimana manusia tersebut berada.
Sumber pandangan hidup berasal dari agama, ideologi maupun hasil perenungan seseorang yang bersifat relatif. Setiap individu memiliki pandangan hidup dan cita-citanya.Tidak sedikit manusia yang mimpinya menjadi kenyataan. Bermula dari mimpi akan menjadikan kita semangat untuk mengejar mimpi tersebut.

Pengorbanan

Pengorbanan adalah pemberian yang didasarkan atas kesadaran moral yang tulus ikhlas semata-mata. Pengorbanan merupakan akibat dari pengabdian. Pengorbanan diserahkan secara ikhlas tanpa pamrih, tanpa ada perjanjian, tanpa ada transaksi, kapan saja diperlukan.
Pengabdian lebih banyak menunjuk kepada perbuatan sedangkan pengorbanan lebih banyak menunjuk kepada pemberian. Dalam pengadian selalu dituntut pengorbanan, tapi belum tentu pengorbanan menuntut pengabdian.