A.
Gambaran Geografis
Secara
historis, Kabupaten Bekasi merupakan wilayah dibawah kekuasaan Kerajaan Padjadjaran. Informasi
tentang perkembangan historis Kabupaten Bekasi setidaknya dimulai sejak abad
ke-5 sebagaimana dirilis melalui website Pemerintah Kabupaten Bekasi tentang
sejarah singkat Kabupaten Bekasi (www.bekasikab.go.id).
Pada
abad ke-5 M, di wilayah Jabar berdiri kerajaan Tarumanegara dengan Raja bernama
Purnawarman dan menurut Prof. Dr. Purbatjaraka istana kerajaan ini terletak di
dekat sungai Ciliwung dan sungai Bekasi. Kerajaan Tarumanegara sendiri runtuh
sekitar abad ke-7 dan ke-8 akibat serangan Kerajaan Sriwijaya. Namun,
keberadaannya sebenarnya masih tetap ada hingga abad ke-10 Masehi (Rohedi, 1975:31).
Menjelang keruntuhan Tarumanegara, di Jawa Barat ada 2 kerajaan besar yakni
Kerajaan Galuh (abad ke-8) dan Kerajaan Padjadjaran (abad ke-14). Diantara
kedua kerajaan tersebut, yang memiliki pengaruh cukup besar adalah Kerajaan
Padjadjaran hingga Bekasi dibawah kekuasaanya.
Pada
masa Kerajaan Padjadjaran, Bekasi merupakan salah satu daerah sangat penting
karena letaknya yang sangat strategis sebagai daerah penghubung antara wilayah
Padjadjaran (Jawa Barat) ke pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta. Kekuasaan Kerajaan
Padjadjaran semakin surut setelah pelabuhan Sunda Kelapa jatuh ke tangan
kalangan muslim dibawah pimpinan Fatahillah, menantu Sultan Demak (Pangeran
Trenggano). Kehadiran kesatuan Islam di Sunda Kelapa lambat laun telah
menggeser kekuasaan Padjadjaran. Namun Sunda Kelapa kemudian diganti menjadi
Jayakarta pada tanggal 22 Juni 1527.
Pada
bulan April 1619 terjadi pertempuran antara Jayakarta melawan VOC. Akhirnya
Jayakarta dapat ditundukkan oleh VOC pada tanggal 31 Mei 1619 dan wilayah
kekuasaannya meliputi daerah kekuasaan Jayakarta sebelumnya, termasuk Bekasi.
Setelah
VOC berkuasa, Jayakarta berubah menjadi Batavia, kota ini dijadikan basis utama
bagai kekuasaan VOC dalam pengaturan ekonomi dan politik Hindia Timur. Tahun
1746 VOC memproklamirkan bahwa daerah pesisir utara pulau Jawa berada dalam
kekuasaannya dan menjadi daerah yuridiksi kompeni, berarti semua pimpinan yang
ada secara administratif harus mematuhi hukum kompeni.
Sejarah
Bekasi tidaklah dapat dipisahkan dari kolonialisme Belanda, pada saat itu
Bekasi merupakan salah satu distrik (kawedanaan) dari Afdeeling/regenschap
Meester Cornelis, yaitu Residensi Batavia yang dibagi menjadi tiga onderdistrik
yang didalamnya terdapat tuan-tuan tanah dan dibagi lagi dalam kesatuan
administrasi terkecil yang disebut kampung. Akibat diterapkannya sistem
penguasaantanah secara partikelir, maka pada tahun 1869 terjadi pemberontakan
petani Bekasi di Tambun. Pada tanggal 6 September berdiri Sarekat Islam Cabang
Bekasi yang tujuannya ingin menyusun kekuatan untuk melawan tuan tanah.
Setelah
pemerintahan Hindia Belanda takluk kepada Jepang, kemudian Jepang mengambil
alih seluruh administratif pemerintahan dan keamanan sampai ke tingkat kampung.
Sejak awal pemerintahan, semua partai politik dibubarkan sampai akhirnya
terbentuk Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) dan pada tanggal 8 Januari 1944
didirikan organisasi yang lebih luas yaitu Jawa Hokokai (Kebangkitan Jawa).
Saat
Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, kota-kota
di sekitar Jakarta seperti Tangerang, Bogor, dan Bekasi menyambutnya dengan
semangat dan penuh suka cita, bahkan sempat menimbulkan kekerasan dengan cara
melucuti persenjataan setiap tentara Jepang yang tertangkap dan tidak sedikit
yang terbunuh.
Sejak
itu di Bekasi muncul beberapa pergerakan masyarakat yang tujuannya untuk
melawan penjajahan Jepang yang kejam dan menyengsarakan rakyat. Pada tanggal 19
Oktober 1945 terjadi insiden Kali Bekasi dan tanggal 23 November 1945
dimulainya peristiwa Bekasi lautan api yaitu terjadi pertempuran antara
masyarakat Bekasi dengan tentara sekutu.
Situasi tahun 1949 masih diwarnai pertempuran dan
diplomatis, Bekasi masih merupakan kawedanaan, bagian dari Kabupaten
Jatinegara. Kemudian awal tahun 1950 para tokoh masyarakat Bekasi membentuk
Panitia Amanat Rakyat Bekasi, dan pada tanggal 17 Januari 1950 Panitia Amanat
Rakyat mengadakan rapat raksasa dengan semua rakyat Bekasi. Dalam rakyat itu
selain adanya beberapa tuntutan, rakyat Bekasi meminta kepada pemerintah agar
Kabupaten Jatinegara diganti menjadi Kabupaten Bekasi. Setelah tiga kali
pembicaraan antara bulan Februari sampai Juni 1950 akhirnya Moh. Hatta sebagai
Perdana Menteri RIS menyetujui pembentukan Kabupaten Bekasi.
Penggantian nama Kabupaten Jatinegara menjadi Kabupaten
Bekasi tertuang dalam UU No. 14 tanggal 8 Agustus Tahun 1950 tentang
pembentukan kabupaten diJabar serta memperhatikan PP No. 32 tanggal 14 Agustus
1950 tentang penetapan mulai berlakunya UU No. 12, 13, 14, dan 15 tahun 1950,
dan realisasinya baru dilaksanakan tanggal 15 Agustus 1950 yang kemudian diakui
sebagai lahirnya Kabupaten Bekasi/Hari Jadi Kabupaten Bekasi dengan Bupati
pertama adalah R. Suhanda Umar, SH.
Gambar 2.1 Peta Administratif Kabupaten Bekasi
B.
Kondisi
Fisik Lingkungan
Kabupaten Bekasi sebagai
bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat, secara administratif terdiri dari 23
Kecamatan, 5 Kelurahan dan 182 desadengan luas wilayah
127.388 Ha atau sebesar 3,43% persen dari luas Provinsi Jawa Barat yang memiliki luas daratan 3.710.061,32 ha. Kabupaten
Bekasi memiliki letak geografis pada posisi 1060 48’ 28” – 1070
27’ 29” Bujur Timur dan 05054’ 50” – 060 29’ 15” Lintang
Selatan.Topografinya terbagi atas dua bagian yaitu dataran rendah yang meliputi
sebagian wilayah bagian utara dan dataran bergelombang di wilayah bagian
selatan, ketinggian lokasi terletak diantara 6 – 115 meter dan kemiringan 0-250
meter.
C.
Iklim dan
Kualitas Udara
Suhu udara yang
terjadi di Kabupaten Bekasi berkisar antara 280-320 C,
Curah Hujan tertinggi dan Hari Hujan sering terjadi pada Bulan Januari.Berikut
adalah besar curah hujan dalam 1 (satu) tahun yang terjadi di Kabupaten Bekasi.
Tabel 2.1 Curah Hujan menurut Bulan di Kabupaten Bekasi Tahun 2006 – 2010
Bulan
|
Curah
Hujan (mm)
|
||||
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
|
Januari
|
416,0
|
499,8
|
199,1
|
n/a
|
304,1
|
Februari
|
348,0
|
724,4
|
553,9
|
n/a
|
187,0
|
Maret
|
263,0
|
155,7
|
173,6
|
n/a
|
108,5
|
April
|
147,0
|
289,1
|
188,2
|
n/a
|
80,7
|
Mei
|
113,0
|
89,9
|
49,1
|
n/a
|
95,4
|
Juni
|
29,0
|
104,4
|
27,9
|
n/a
|
103,0
|
Juli
|
25,0
|
3,1
|
3,1
|
n/a
|
62,3
|
Agustus
|
5,0
|
19,9
|
10,8
|
n/a
|
49,3
|
September
|
-
|
1,2
|
3,2
|
n/a
|
196,0
|
Oktober
|
-
|
104,1
|
83,9
|
n/a
|
292,2
|
November
|
51,0
|
132,8
|
109,5
|
n/a
|
149,4
|
Desember
|
196,0
|
320,6
|
165,7
|
n/a
|
112,3
|
Sumber
: Perum Jasa Tirta Bekasi
n/a : Data tidak tersedia
D.
Pengunaan Lahan
Kabupaten Bekasi
membedakan Penggunaan tanah dibedakan atas
tanah sawah dan tanah kering. Dengan
luas wilayah 127.388 ha, persentase tanah sawah mencapai 43,23 % atau 55.074
ha, sisanya berupa tanah kering. Tanah
sawah dengan irigasi teknis mencapai 65 %, setengah teknis 12,56 %, sederhana
1,48 % dan tadah hujan 13,81 %. Wilayah dengan
tanah sawah yang luas yaitu Kecamatan Pebayuran, Sukawangi, dan
Sukakarya, masing-masing 6.827 ha, 4.801 ha dan 3.802 ha. Penggunaan tanah kering paling banyak untuk
bangunan dan halaman. Penggunaan tanah jenis ini paling luas di Kecamatan
Cikarang Selatan, yaitu mencapai 1.955 ha, kemudian Kecamatan Cikarang Barat
1.856 ha
Penggunaan
lahan tanah basah masih cukup besar meskipun menunjukkan penurunan sejak tahun
2002. Namun, lahan sawah yang tersedia masih sangat berpotensi untuk
ditingkatkan produksinya dan diharapkan dapat didorong untuk mendapatkan
kembali predikat sebagai daerah lumbung padi di Jawa Barat. Kabupaten Bekasi
juga memiliki tambak yang terkonsentrasi di Kecamatan Tarumajaya dan Babelan.
Rawa-rawa berdasarkan kecamatan terdapat cukup luas di kecamatan Setu,
Bojongmangu dan Cikarang Utara.
Tabel 2.2.
Luas Tanah Menurut
Penggunaannya Tahun 2003 – 2007
JENIS PENGGUNAAN
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
Irigasi Teknis
|
37.493
|
37.483
|
35.286
|
34.520
|
34.352
|
Irigasi Setengah Tehnis
|
6.243
|
6.173
|
7.865
|
7.877
|
9.312
|
Irigasi Sederhana
|
3.300
|
3.300
|
3.065
|
3.662
|
701
|
Tadah Hujan
|
8.278
|
8.903
|
7.805
|
7.759
|
8.289
|
Lainnya
|
675
|
0
|
1.333
|
1.332
|
2.928
|
Jumlah Tanah Sawah
|
55.989
|
55.859
|
55.354
|
55.150
|
55.582
|
|
|
|
|
|
|
Pekarangan, Bangunan
|
22.206
|
21.830
|
21.426
|
20.330
|
19.925
|
Tegal, Kebun, Ladang, Huma
|
15.716
|
15.439
|
15.975
|
13.184
|
13.639
|
Hutan Negara
|
-
|
-
|
-
|
234
|
234
|
Rawa-rawa
|
161
|
139
|
139
|
116
|
100
|
Tambak
|
10.204
|
10.231
|
10.233
|
10.736
|
10.743
|
Penggembalaan
|
-
|
-
|
9.370
|
112
|
116
|
Kolam, Tebat, Empang
|
782
|
713
|
757
|
410
|
406
|
Tanah Sementara Tidak Diusahakan
|
1.264
|
713
|
1.031
|
1.551
|
1.551
|
Hutan Rakyat,
Tanaman Kayu-kayuan
|
2.632
|
2.632
|
2.592
|
3.894
|
3.894
|
Perkebunan
|
1.013
|
1.013
|
1.013
|
-
|
631
|
Lainnya
|
17.417
|
18.819
|
18.868
|
21.046
|
20.567
|
Jumlah Tanah Kering
|
71.395
|
71.529
|
72.034
|
72.238
|
71.806
|
Jumlah / Total
|
127.384
|
127.388
|
127.388
|
127.388
|
127.388
|
Sumber : Kabupaten Bekasi dalam Angka 2008
Indikasi pesatnya perkembangan demografis dan ekonomi
Kabupaten Bekasi dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu kecenderungan
perkembangan kawasan terbangun, pola spasial izin lokasi untuk perumahan dan
industri, serta dampaknya terhadap kecenderungan alih fungsi lahan pertanian ke
non pertanian. Sebagai salah satu kawasan yang lokasinya paling dekat, bahkan
berbatasan dengan Jakarta, Kabupaten Bekasi terkena imbas pesatnya perkembangan
ekonomi dan sosial ibukota negara.
Tingginya tuntutan kebutuhan atas lahan perumahan
menyebabkan perubahan penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Bekasi. Sawah,
rawa, dan kawasan perkampungan penduduk asli berubah menjadi kawasan industri,
kawasan perumahan permukiman realestate atau kawasan perumahan berkepadatan
sedang-tinggi, dan penggunaan lahan non-pertanian lainnya. Perubahan penggunaan
lahan di Kabupaten Bekasi berawal dari Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976
yang menetapkan wilayah Bekasi sebagai salah satu wilayah pengembangan BOTABEK
(Bogor-Tangerang-Bekasi), wilayah penyangga Provinsi DKI Jakarta. Wilayah
Penyangga dapat diartikan bahwa Bekasi harus “berperan serta” dalam menyediakan
lahan perumahan bagi kebutuhan warga Jakarta. Perubahan penggunaan lahan ini
bertambah semarak sejak dikeluarkannya Perda Provinsi Jawa Barat No. 13/1998,
yang menetapkan Kabupaten Bekasi menjadi zona industri dan kawasan industri.
Perubahan penggunaan lahan ini tentu saja
memberikan dampak pada pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bekasi. Laju
pertumbuhan penduduk (LPP) Kabupaten Bekasi per tahun cukup tinggi, yakni 6,3%.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, dari 1,6 juta jiwa penduduk yang
tercatat, 1,8% merupakan laju pertumbuhan alami. Sisanya 4,5% merupakan migrasi
pendatang dari Jakarta dan daerah lain. Dari data kependudukan di tahun 2009,
jumlah penduduk Kabupaten Bekasi adalah 2,225,177 juta jiwa. Angka jumlah
penduduk ini memperlihatkan semakin bertambahnya kawasan permukiman di
Kabupaten Bekasi dan kawasan-kawasan pendukung aktivitas hunian.
Perkembangan fisik yang terjadi di Kabupaten Bekasi sejak ditetapkan Rencana Umum Tata
Ruang Wilayah (RUTRW) Bekasi 2003-2013 yang ditetapkan dengan Peraturan
Daerah Kabupaten Bekasi No. 4 Tahun 2007, pada
dasarnya merupakan wujud implementasi rencana tersebut dalam tahap pemanfaatan
ruang. Perkembangan fisik tata ruang tersebut juga merupakan manifestasi
perkembangan atau pertumbuhan wilayah secara ekonomi dan demografis, baik yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal maupun internal. Dengan melihat peta
penggunaan lahan di tahun 2002 dapat disimpulkan bahwa perkembangan dan
perubahan penggunaan lahan terpusat di sepanjang Jalan Tol Cikampek (ribbon
development), atau yang dikenal dengan nama: Koridor Timur-Barat, Kawasan
Perkotaan Cikarang. Penggunaan lahan disepanjang koridor ini adalah industri,
permukiman dan tegalan, sementara di kecamatan-kecamatan lain masih didominasi
oleh pertanian lahan basah. Berdasarkan pertimbangan atas perkembangan
penggunaan lahan dan pusat perkembangan wilayah Kabupaten Bekasi inilah,
Ibukota Kabupaten Bekasi dipindahkan ke Kawasan Perkotaan Cikarang, Kecamatan
Cikarang Pusat, dimana perencanaannya menjadi satu kesatuan dengan kawasan
pembangunan terpadu Delta Mas.
Pola penggunaan lahan di Kabupaten Bekasi terbagi
atas klasifikasi lahan kering dan lahan basah. Penggunaan lahan kering terdiri
dari tanah untuk bangunan, halaman, tegal, kebun, rawa-rawa, tambak, kolam,
tebat, empang, dan lain-lain. Sedangkan penggunaan lahan basah terdiri dari
irigasi teknis dan ½ teknis, irigasi sederhana dan tadah hujan.
2.1.2 Potensi Pengembangan Wilayah
Menurut arahan pengembangan Kabupaten Bekasi didalam
Perpres No. 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Kawasan JABODETABEKPUNJUR, Kabupaten
Bekasi termasuk kawasan
Jabodetabekpunjur yang merupakan kawasan strategis nasional yang memerlukan
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu.
Kawasan Jabodetabekpunjur mempunyai kedudukan yang
sangat penting yaitu sebagai kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai
nilai strategis yaitu sebagai pusat kegiatan nasional. Peran dan kedudukan
Jabodetabekpunjur menjadi pusat kegiatan
jasa, industri, pariwisata dan pintu gerbang nasional. Sebagai pintu gerbang
nasional kawasan Jabodetabekpunjur berperan dalam hubungannya dengan dunia internasional.
Peran sebagai pusat kegiatan jasa, industri, pariwisata memiliki skala
pelayanan nasional, regional dan internasional. Dengan kedudukan dan peran
tersebut, kawasan Jabodetabekpunjur dapat dijadikan indikator bagi pembangunan
nasional.
Dalam struktur tata ruang Kabupaten Bekasi sampai
saat ini masih terjadi ketimpangan dalam perkembangannya. Kabupaten Bekasi
dalam kaitannya dengan kebijakan Tata Ruang Provinsi Jawa Barat, sebagai Pusat
Kegiatan Nasional (PKN) Bodebek yang secara geografis lebih dekat
aksesibilitasnya dengan DKI Jakarta memiliki perkembangan yang sangat pesat,
namun demikian ditinjau dari aspek pemerataan pembangunan masih belum optimal.
Kabupaten Bekasi bagian selatan berkembang sangat pesat, hal ini erat kaitannya
dengan keberadaan kawasan industri dan jaringan jalan tol yang melintas di
bagian Selatan Kabupaten Bekasi. Bagian utara Kabupaten Bekasi masih belum
maksimal perkembangannya karena masih berupa wilayah perdesaan.
Selain itu, di wilayah Utara terdapat zona hutan
lindung yang pengembangannya perlu diawasi dan perlu melibatkan berbagai
instansi, baik di tingkat Pusat maupun Provinsi Jawa Barat. Selain masalah
kesenjangan wilayah Utara dan Selatan, terdapat pula kesenjangan pada wilayah
perbatasan, dimana penyediaan sarana dan prasarana wilayah di bidang
permukiman, jalan dan drainase masih kurang memadai bila dibandingkan dengan
wilayah perbatasannya terutama wilayah Kota Bekasi dan DKI Jakarta.
Sesuai dengan arah kebijakan pengembangan wilayah
Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bekasi merupakan bagian dari kawasan andalan
Bodebekpunjur, yang diklasifikasikan sebagai wilayah yang dikendalikan
pengembangannya dengan mendorong kegiatan perkotaan yang berdaya saing dan
ramah lingkungan, membatasi kegiatan perkotaan yang membutuhkan lahan luas dan
potensial yang menyebabkan alih fungsi lahan lindung dan sawah, membatasi
pengembangan kegiatan perkotaan yang menarik arus migrasi tinggi serta
mengembangkan sistem transportasi masal.
Pola tata ruang Kabupaten Bekasi sesuai dengan
RTRW Provinsi Jawa Barat mengamanatkan proporsi kawasan lindung sebesar 12 %
dari luas wilayah, yang terbagi menjadi kawasan hutan lindung seluas 6.434 Ha
dan kawasan lindung non hutan (budidaya) seluas 72.250 Ha. Kawasan lindung
tersebut berada di wilayah utara, tepatnya di Kecamatan Muaragembong. Penetapan
wilayah konservasi ini menjadikan pemerintah perlu mengatur dan mengendalikan
pertumbuhan lahan terbangun, sehingga ancaman terhadap daya dukung lingkungan
menjadi terkendali. Pengendalian tersebut masih belum optimal karena setiap
tahun masih terjadi bencana banjir yang mengancam daya dukung lingkungan.
Pesatnya perkembangan di Kabupaten Bekasi menimbulkan kecenderungan terjadinya
alih fungsi lahan sawah menjadi permukiman dan industri.
Wilayah
Rawan Bencana
A.
Bencana
Indonesia sebagai negara
kepulauan yang secara geografis terletak di daerah khatulistiwa, di antara
Benua Asia dan Australia serta diantara Samudra Pasifik dan Hindia berada pada
pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia merupakan wilayah terotorial yang
sangat rawan terhadap bencana alam.
Bencana yang ditimbulkan pada
umumnya disebabkan oleh tekhnologi, transportasi, gangguan ekologis, biologis
serta kesehatan. Serangan teroris juga merupakan ancaman yang sudah terbukti
menimbulkan bencana nasional
Kebijakan otonomi daerah
ditujukan untuk memberdayakan pemerintah daerah dan mendekatkan serta
mengoptimalkan pelayanan dasar kepada masyarakat, sekaligus mengelola sumber
daya dan resiko bencana yang melekat pada kebijakan ini sering dipahami sebagai
keleluasaan untuk memanfaatkan sumber daya tanpa dibarengi kesadaran untuk
mengelola secara bertanggung jawab.
Dalam paradigma baru, penanganan bencana adalah suatu pekerjaan terpadu
yang melibatkan masyarakat secara aktif. Pendekatan yang terpadu semacam ini
menuntut koordinasi yang lebih baik diantara semua pihak, baik dari sektor
pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat, badan-badan internasional. Penanganan
bencana di Kabupaten Bekasi
Bencana yang sering terjadi di Kabupaten Bekasi sepanjang 5 (lima) adalah
bencana Banjir, Angin Topan / Puting Beliung, Tanah Longsor, Luapan Air /
Jebolnya Tanggul Sungai Citarum serta Bencana Kebakaran.
Lokasi bencana / Kecamatan yang
sering terkena bencana diatas adalah KecamatanCikarang Timur, Sukakarya,
Cibarusah, Bojongmangu, Cikarang Pusat, Tambun Selatan, Cibitung, Cikarang
Selatan, Cabangbungin, Pebayuran, Cabangbungin dan Muaragembong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar